By : Finanda R Pratiwi
“Andai aku bukan aku. Dan aku adalah kau. Maka aku akan tahu duniamu”
Jika aku menjadi ‘Buta’ ..
Membayangkan dunia dengan khayalan indah, terang dan berwarna. Tapi hanyalah hitam dan gelap yang terlihat. Indahnya dunia hanya ada dalam pikiran. Berjuta warna yang ada tapi tetap satu, “Hitam”. Berbagai pemandangan indah dengan sinar mentari yang terang, tapi tetap satu, “Hitam”. Aku berjalan sendiri tanpa arah dan tak tahu keberadaan diriku sendiri. 2 bola ini tak berfungsi, tak berkedip dan tertutup kaca hitam. Aku tak bisa melihat rangkaian kata-kata buku yang bermakna. Tak dapat mengerti arti dari hasil tangan sang guru di sebuah papan. Dunia ini terasa gelap tak bercahaya. Dan duniaku adalah HITAM!
Jika aku menjadi ‘Lumpuh’ ..
Duduk di atas kursi beroda, melihat orang-orang berlari dan berjalan. Hati ini menginginkannya tapi itu tak bisa. Selalu bergantung dengan yang lain atau sebuah perantara agar aku dapat berbuat sesuatu. Tersudut sendiri di atas sebuah kursi beroda melihat yang lain tertawa gembira dengan kaki mereka yang lincah. Keahlianku terbatasi karena bagian tubuhku lumpuh tak berdaya. Aku hanya duduk, duduk dan duduk. Tak bisa bebas kemanapun yang aku inginkan. Terkadang rasa malu itu datang, melihat yang lain memandangku penuh rasa hina ataupun simpati. Aku tak tahu apa yang mereka pikir tentang aku si cacat. Duniaku adalah kursi beroda!
Jika aku terlahir tak sempurna ..
Bagian tubuhku hilang, terlahir dengan keadaan yang tidak sempurna. Jika aku Bisu dan tuli, aku hanya dapat diam melihat yang lain berbicara tanpa bisa membalas perkataannya dan mendengar apa yang mereka katakan. Bagian tubuhku tidak utuh dan aku terlihat seperti orang tidak normal. Aku iri melihat aku berbeda dengan yang lain, iri dengan canda tawa mereka atas kesempurnaan lekuk tubuhnya. Dan inilah aku si cacat ..
Berpikir itu mengajarkan kita bersyukur. Jika kita tidak pernah membayangkan sesuatu yang pahit, maka kita tidak akan mensyukuri nikmat manis. Dan jika kita terus mencicipi manisnya gula tanpa membayangkan betapa pahitnya rasa kopi, kita tidak akan pernah merasa bersyukur atas apa yang kita dapatkan.
“Berpikir itu mengajarkan kita untuk bersyukur. Dan bila kita bersyukur maka kita telah berpikir”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar